KOMPAS.com - Banyak diantara kita yang mengaku sudah menjalani aturan diet yang benar, tapi ternyata berat badan tidak pernah berhasil diturunkan. Dimanakah letak kesalahannya?
Elisa Zied, RD, juru bicara American Dietetic Association, bercerita kebanyakan dari kita justru tidak menyadari telah mensabotase program diet kita sendiri. Sabotase itu menurut Zied yang juga penulis Feed Your Family Right! justru kita lakukan ketika salah mempersepsikan program penurunan berat badan.
Contohnya :
Memotong kalori berlebihan. Memang benar, mengurangi total kalori setiap hari adalah cara untuk menurunkan berat badan. Tapi terlalu banyak kalori yang kita kurangi, justru membangunkan hormon yang mengirimkan sinyal lapar pada kepala kita. Hormon itu adalah ghrelin.
Cara lebih pintarnya adalah, gunakanlah rumus keseimbangan. Rumus seimbang adalah, tidak pernah melewatkan sarapan dan mengurangi porsi makan malam. Saat kita makan berlebihan di malam hari, sarapan menjadi jadwal makan yang kita lewati yang kemudian pada waktu makan siang tiba, kita makan berlebihan.
Menu sarapan yang aman adalah, 450 kalori setiap pagi seperti roti gandum isi telur dan keju rendah lemak yang didampingi dengan segelas jus buah. “Menu ini akan menjaga kita hingga makan siang,” ucap George L. Blackburn, MD, PhD, dari divisi Nutrisi Harvard Medical School dan penulis buku Break Through Your Set Point. Menurut Blackburn, saat kita bisa melakukan manajemen nafsu makan maka kita akan makan dalam porsi yang sama di setiap jadwal makan.
Waktu makan tidak teratur. Berdasarkan penelitian yang diumumkan dalam American Journal of Clinical Nutrition, saat kita makan tidak teratur maka kita tidak akan pernah menyusutkan berat badan meskipun porsi makan kita sudah benar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2005 lalu, perempuan yang makan di jam-jam yang sama setiap harinya, ternyata mampu membakar lebih banyak kalori. Ini membuat produksi insulin berkurang yang artinya menyelamatkan diri dari risiko resistensi insulin yang dapat menyebabkan obesitas dan diabetes.
Cara lebih pintarnya adalah, coba hitung berapa kali dalam sehari kita makan, mulai dari makan utama hingga ke camilan-camilan kecil. Lalu catat, di jam-jam berapa saja kita lapar dan makanlah di jam-jam tersebut dengan teratur. Itu mengapa Zied menyarankan kita untuk memiliki catatan harian apa saja yang kita makan atau food diary. Catatan ini nantinya akan membentuk kesadaran kita untuk memilih makanan yang sehat dengan porsi yang sehat juga.
Memilah-milih menghitung kalori. Tanpa kita sadari, kita tidak menghitung kalori semua makanan yang kita makan. Misalnya ikan atau ayam. D. Milton Stokes, MPH, RD., dari Bowling Green State University, menjelaskan, bukan berarti jika makanan tersebut masuk dalam kategori makanan sehat maka kita tidak perlu menghitung kalorinya. Ini akan membuat kita mengubah makanan sehat menjadi tidak sehat, sebab kita makan secara berlebihan.
“Misalnya semangkuk almon, kalorinya sekitar 200 tapi ketika kita menambahnya dalam takaran yang berlebih maka tidak mungkin program penurunan berat badan kita sukses. Cara lebih pintarnya adalah, hitunglah kalori yang kita makan. Sekalipun makanan kita hanyalah ½ mangkuk sereal dan ingat untuk tidak makannya secara berlebihan!
Membuat target untuk jangka pendek. National Weight Control Registry mengestimasi, hanya 20 persen dari pelaku program diet yang berhasil menjaga bobot idealnya selama setahun lebih. Sebabnya, setelah mereka berhasil mencapai target berat badan yang diinginkan, mereka kembali pada kebiasaan makan yang salah. Tapi bagi pelaku program diet yang menetapkan target secara gradual atau perlahan, mampu menjaga timbangan badan tetap ideal dari tahun ke tahun.
Cara lebih pintarnya adalah, awalilah dengan perubahan kecil yang mengantar kita pada keberhasilan kecil. Setelah itu, berikan kepercayaan pada diri untuk mencapai target yang lebih besar. Dengan begitu, resolusi hidup sehat kita tidak hanya bertahan satu tahun tapi selama-lamanya sebab kita telah menjadikannya sebagai gaya hidup.
Jangan terpesona dengan label rendah lemak. Cornell University melakukan penelitian kecil-kecilan dengan cara menyediakan 2 jenis cokelat pada acara open house universitas tersebut. Pertama, cokelat tanpa label rendah lemak dan kedua diberi label. Hasilnya, 28 persen dari pengunjung memilih yang berlabel rendah lemak. Tapi mereka tidak cukup mengonsumsinya sekali karena label rendah lemak telah menggoda mereka untuk mengambil beberapa bungkus cokelat.
Cara lebih pintarnya adalah, jangan hanya merasa puas dengan label. Tetap ingat untuk membatasi asupan makanan berlabel rendah lemak.
0 komentar:
Posting Komentar